Di tengah masyarakat etnis Tionghoa dan Asia pada umumnya, beras/nasi adalah bahan pangan yang harus ada. Sejak kecil dari pelajaran sastra di sekolah telah diajarkan prinsip ‘setiap butiran beras adalah jerih payah’, bagi yang mampu makan kenyang dan minum cukup adalah kebahagiaan bagi kita semua. Dalam masyarakat Jepang ada semacam ungkapan: “Di atas sebutir beras ada 7 Dewa.”
Sejak kecil orangtua mengajarkan pada anak-anak agar menghargai makanan, jika tidak bisa mengerti setitik kebaikan ini, seolah mengacuhkan berkat dari Dewa.
Sponsored Ad
Orang Jepang, baik yang kaya maupun miskin, sebelum makan pasti berdoa dan mengucapkan satu kalimat. Kata-kata yang akrab di telinga ini oleh kebanyakan orang diartikan sebagai: ‘saya mau makan!’, sebenarnya ini bukan arti sebenarnya kalimat tersebut.
Kalimat “いただきます” (baca: itadakimasu, Red.) dalam Bahasa Jepang dengan cara penulisan kanji adalah “頂きます”, yang arti sebenarnya adalah ‘dijunjung tinggi di atas kepala’, oleh karena itu ada pemakaian aksara kanji “頂” (arti: diatas kepala, Red.). Terjemahan langsung bisa diartikan “saya menerima!”, dan karena menerima dengan dijunjung di atas kepala, berarti menerima dengan penuh rasa hormat. Lalu apa sebenarnya yang telah diterima itu?
Sponsored Ad
Seorang pakar Jepang pernah menjelaskan demikian: “Kami menerima jiwa hewan dan tumbuhan yang berkorban menjadi makanan. Adalah ‘berterima kasih atas berkat’, semacam ungkapan perasaan terima kasih karena pengorbanan jiwa demi kehidupan jiwa manusia ini.”
Dikarenakan pengorbanan hewan dan tumbuhan itu, maka jiwa manusia baru dapat terus bertahan hidup, juga sebagai ungkapan terima kasih pada Dewata yang memberikan makanan tersebut pada manusia, juga rasa hormat dan terima kasih pada jagat raya. Dan, terakhir adalah ungkapan terima kasih pada para petani beserta para pekerja lainnya yang telah bersusah payah menyediakan makanan tersebut, maka terciptalah etika di meja makan seperti ini.
Sponsored Ad
Oleh sebab itu saat mengucapkan kalimat tersebut, harus dengan tangan bersikap Namaste di depan dada, dan diucapkan dengan penuh rasa hormat. Warga Jepang sejak kecil telah dididik seperti ini, bagi orang Jepang, orang yang tidak tahu berterima kasih sebelum makan, adalah perilaku yang sangat tidak terhormat.
Di tahun Jiajing pada zaman Dinasti Ming ada seorang perdana menteri bernama Yan Song, anekdot tentang dirinya, mungkin diakibatkan menghamburkan makanan sehingga jatuh miskin adalah contoh terbaik. Di masa itu, Yan Song pernah sangat berkuasa, kekayaannya bahkan bisa menandingi negara. Akan tetapi, ia menjadi tidak beretika karena kekayaannya.
Sponsored Ad
Bersama putranya Yan Shifan, keduanya berbuat kejahatan bersama-sama, menggalang kelompok, mengacaukan pemerintahan, mencelakakan pejabat jujur dan menciptakan kekalutan, tapi dirinya sendiri hidup berfoya-foya. Kemudian terjadilah peristiwa yang mengguncang hidupnya…
Kekayaan keluarga Yan tercatat dalam kitab sejarah. Menurut catatan pada kitab “Dokumentasi pribadi Kaisar Shizong dari Ming” bab 549 tercatat, saat pemerintah menyita kekayaan keluarga Yan Shifan di Jiangxi, hasil sitaan adalah sebagai berikut: Emas sebanyak 1.030 kg lebih, perak sebanyak 63.346 kg lebih, gelas dan piring giok sebanyak 857 buah, sabuk giok sebanyak 200 untai lebih, cangkang penyu-sisik (disepuh) emas sebanyak lebih dari 120 lembar … memiliki rumah kediaman 6.600 unit lebih, tanah sawah sebanyak 57 petak, ladang seluas 273 hektar, sisanya sejumlah perhiasan, permata dan sebagainya.”
Sponsored Ad
Hanya dua jenis item yang tercantum di awal saja sudah mencapai pendapatan negara selama setahun. Karena begitu kaya, di loji Yan Song di desanya, tamu dan sanak keluarganya luar biasa banyak, begitu pula setiap hari dari selokan dapur kediamannya mengalir luar biasa banyak sisa makanan berupa beras, daging, sayur dan lain-lain.
Pada tahun 1562, Yan Song diadukan untuk dipecat oleh pejabat lainnya, Raja Jiajing pun mencopot jabatan Yan Song, putranya Yan Shifan dihukum penggal, seluruh kekayaan keluarganya disita oleh negara.
Sponsored Ad
Saat menjabat Yan Song banyak melakukan kejahatan, hati rakyat tidak berpihak padanya, oleh sebab itu saat jabatannya dicopot tidak seorang pun bersimpati padanya. Terhadap nasibnya yang tidak disangkanya, Yan Song hanya bisa hidup sebatang kara. Di tengah kondisinya yang begitu mengenaskan itu, seorang bhiksu tua dari kuil di dekat kediaman keluarga Yan telah berbelas kasih menerima dirinya.
Setelah beberapa hari berdiam di kuil tua itu, suatu hari Yan Song yang merasa malu mengaku pada sang bhiksu tua, “Saya merasa sangat bersalah pada Anda, dulu disaat saya masih berkuasa dan kaya, saya malah tidak tahu ada seorang tetangga yang begitu baik seperti Anda, tidak pernah sekali pun saya memberikan sumbangan atau menderma pada kuil Anda ini. Kini saya sudah tidak punya apa-apa lagi, tapi Anda justru mau menerima saya, memberikan makanan Anda dan tinggal di tempat Anda, saya sungguh merasa menyesal…”
Sponsored Ad
Bhiksu tua itu menghibur Yan Song dengan berkata, “Anda tidak perlu bersedih, yang Anda makan sekarang sesungguhnya bukanlah milik saya, melainkan milik Anda sendiri. Dan semua makanan ini, bahkan 10 tahun lagi pun tidak akan habis dimakan.” Kata-kata bhiksu tua ini begitu mengejutkan Yan Song, ia pun bertanya, “Milik saya sendiri? Bagaimana mungkin bisa begitu?” Bhiksu tua itu berkata, “Jika Anda tidak percaya, mari ikut saya.”
Lalu sang bhiksu tua pun mengajak Yan Song untuk ditunjukkan bahan pangan yang bertumpuk menggunung di dalam gudang itu dan berkata pada Yan Song, “Ini adalah beras yang mengalir keluar dari selokan di kediaman Anda. Dulu saya selalu membawa beberapa bhiksu kecil ke pinggir selokan itu, lalu menyaring semua beras yang mengalir di sana, setelah kami cuci bersih, beras itu kami jemur sampai kering dan kami jadikan makanan kami di kuil ini. Lama kelamaan, beras yang kami ambil dari kediaman Anda telah memenuhi ruangan ini.”
Sponsored Ad
Sambil memandang tumpukan beras itu Yansong mendengarkan dengan seksama perkataan bhiksu tua, tidak sepatah kata pun mampu terucap dari mulutnya. Ia hanya bisa terus menangis dan menangis tiada henti, dan dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasa sangat menyesal.
Dari cerita di atas dan etika orang Jepang di meja makan bisa dilihat, betapa menghargai makanan adalah suatu moral yang baik bagi setiap orang.
Sponsored Ad
Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan materi banyak negara kian hari kian makmur, berbagai jenis dan ragam makanan bisa didapat dengan mudah. Namun ironisnya di negara yang sangat terbatas sumber dayanya, mereka bahkan sangat kesulitan untuk mengatasi masalah kenyang yang sangat mendasar.
Dalam bahan pangan yang dihasilkan di seluruh dunia setiap tahunnya, setidaknya sepertiganya telah dihamburkan, dan dibutuhkan hanya seperempat bahan pangan sudah cukup untuk menghidupi masyarakat di negara-negara yang dilanda kelaparan.
Kesenjangan yang begitu besar ini terus saja terjadi setiap detik setiap saat. Bisa makan kenyang bukanlah suatu hal yang sudah sepantasnya, melainkan adalah semacam berkat yang harus selalu kita syukuri atas apa pun yang kita miliki.
Sumber : Erabaru